Minggu, 26 September 2010

Bantuan Hukum Berjalan Palu Barat

Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah (LBH Sulteng) lewat program Bantuan Hukum Berjalan (BHB) wilayah Kecamatan Palu Barat, akan memberikan layanan konsultasi hukum gratis kepada masyarakat yang menghadapi permasalahan hukum. Tiga Advokat LBH Sulteng yang akan memberikan layanan adalah Arena Jaya Parampasi, SH, Amerullah, SH dan Abdul Rahman, SH. Hal tersebut tergambar dari Pembukaan kegiatan Bantuan Hukum Berjalan di Aula Kantor Kelurahan Siranindi pada Senin 27/9.
Dalam Pembukaan BHB tersebut yang dihadiri oleh Perwakilan Lurah, RT/RW, Mahasiswa dan Tokoh Masyarakat, Hirsam Gustiawan, SH sebagai ketua panitia BHB menyampaikan kegiatan BHB kecamatan Palu Barat dengan memilih Kantor Kelurahan Siranindi sebagai pos pembukaan karena letaknya yang strategis berada di pusat Kota Palu dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat dalam wilayah Kecamatan Palu Barat.
"Pembukaan BHB Kecamatan Palu Barat di Kantor Lurah Siranindi ini, sesuai dengan hasil Analisis kami berdasarkan Survey permasalahan hukum di Kecamatan Palu Barat yang dilaksanakan pada tanggal 15-17 September 2010".
Sementara itu, Direktur LBH Sulteng Ahmar Wellang, SH menyampaikan kegiatan BHB ini akan dilaksanakan pada tanggal 27-29 September 2010.
“Untuk formal program kegiatan ini akan dilaksanakan 27-29 September 2010, tetapi secara umum LBH Sulteng siap memberikan layanan konsultasi hukum diluar waktu tersebut, dengan masyarakat datang langsung ke Kantor LBH Sulteng di Jalan Jambu No.12 Palu” jelas Ahmar.
Kegiatan BHB wilayah Palu Barat dibuka secara resmi oleh Kanit Reskrim Polsek Palu Barat, IPTU Andy Saiful Arif, SH dengan menekankan peran Polri di masyarakat yang telah berubah seiring era demokrasi dan perubahan Polri sebagai pelayan masyarakat.



selengkapnya

Senin, 20 September 2010

Penyuluhan Hukum Mahasiswa KKPH Kelurahan Lasoani tentang Penghapusan KDRT

Menengok sejarah mengapa para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan lahirnya UU-PKDRT. Hal ini sangat dipahami bahwa bukan saja Konstitusi Indonesia telah secara tegas dan jelas melindungi hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap tindakan diskriminasi, namun kejadian-kejadian KDRT dengan berbagai modus operandinya, sudah sangat memerlukan pengaturan yang memadai, termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi hak asasi perempuan dalam rumah tangga. Itulah diantara materi yang disampaikan Ruslan Husen, SH (LBH Sulteng) ketika menjadi Pembicara Tunggal dalam Penyuluhan Hukum Mahasiswa KKPH di Kelurahan Lasoani Palu Timur pada Minggu 19/9 di Kantor Kelurahan Lasoani.

Selain menguraikan tentang bentuk-bentuk KDRT, yakni kekerasan fisik, mental seksual sampai penelantaran rumah tangga. Ruslan juga menguraikan tentang kendala Kasus KDRT yang dilaporkan korban, kerapkali tidak ditindaklanjuti, karena korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah tindak pidana. Demikian halnya bahwa terhadap kasus yang telah diproses pihak Kepolisian pun acapkali ditarik kembali dengan berbagai macam alasan, misalnya karena korban merasa sudah memaafkan pelaku, ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, demikian halnya bahwa KDRT masih dianggap sebagai aib keluarga.
Sementara itu Ketua Posko KKPH Kelurahan Lasoani Dwi Dwilista, mengatakan kegiatan Penyuluhan Hukum ini dilakukan sebagai salah satu program kerja mahasiswa KKPH untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman hukum kepada masyarakat untuk mencegah dan menyelesaikan permasalahan yang lahir dari akibat KDRT.
"Agar masyarakat mengetahui dan mengenali apa itu KDRT, sekaligus mampu mencegahnya" Tegas Dwi.


selengkapnya

Sabtu, 28 Agustus 2010

THR Dibayar Seminggu Sebelum Lebaran

DONGGALA- Pemerintah Kabupaten Donggala menekankan agar seluruh perusahaan swasta di wilayah itu, sudah harus membayar Tunjangan Hari Raya (THR) untuk karyawan paling lambat seminggu sebelum hari H lebaran Idul Fitri atau pada tanggal 3 September 2010.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Kabupaten Donggala Masdin, S.Sos mengatakan, pembayaran THR merupakan kewajiban perusahaan, karena hal itu sebagai bentuk perhatian terhadap kesejahteraan karyawan.
Dia mengatakan, bagi perusahaan yang tidak membayar THR, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Kami mengimbau seluruh perusahaan swasta di Kabupaten Donggala untuk memperhatikan masalah THR ini, jangan ada karyawan yang tidak diberikan haknya,” jelasnya kepada Radar Sulteng, Senin kemarin (23/8).

Kata Masdin, pemberian THR itu sesuai dengan Permen Nakertrans nomor 4/men/1994 tentang THR keagamaan dan UU nomor 14/1969. Masdin yang kala itu didampingi Kepala Seksi Pengawasan Ketenagakerjaan Joko Pranowo, S.Sos, M.Si, juga mengaku, pihaknya akan melakukan monitoring dan pengawasan bagi perusahaan yang sengaja melupakan kewajiban untuk membayar THR, jika ditemukan akan diberikan teguran.

Selain itu, Masdin juga meminta karyawan untuk proaktif menuntut hak mereka, dan melapor ke Dinas Nakertrans Donggala jika ada perusahaan yang ogah membayar THR. “Kami sangat berharap agar karyawan swasta proaktif, karena satu minggu jelang lebaran, kami akan turun lapangan untuk mengecek langsung perusahaan mana saja yang belum membayar THR,” jelasnya.

Untuk jumlah THR terang Masdin tidak boleh dibawah jumlah gaji yang diterima perbulan oleh masing-masing karyawan, dan gaji karyawan terendah itu berdasarkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebesar Rp780 ribu. “Minimal karyawan harus terima THR terendah sebesar Rp780 ribu. Kalau gajinya diatas UMK, berarti THR juga diatas UMK,” tandasnya.(fer)

Sumber: http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Banjarbaru&id=66160

selengkapnya

LBH Sulteng Usulkan Bentuk Posko Pengaduan THR

Palu - Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah menilai penting membentuk posko pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi para buruh. Para buruh yang tidak mendapat THR, bisa melapor dan mendapatkan bantuan hukum. Pembentukan posko itu bisa dilakukan oleh Serikat Buruh atau kelompok yang memiliki perhatian terhadap buruh.

Menurut Ahmar Direktur LBH Sulteng, selain untuk pengaduan, tujuan pendirian posko adalah untuk mendata perusahaan 'nakal' yang setiap tahunnya nekad tidak mau memberi THR ke pekerjanya.

“Dinas Tenaga Kerja Propinsi dan Kota/Kabupaten 'lembek' karena hanya bisa mengimbau pengusaha untuk membayarkan THR pada H-7. Harusnya mewajibkan, bukan hanya mengimbau”. Tegas Ahmar.

Demikian, karena hal itu bersesuian dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 4 tahun 1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan. Yang isinya, mewajibkan pengusaha memberi THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja tiga bulan atau lebih.

“Bentuk advokasi kepada buruh adalah dengan membawa perusahaan tempatnya bekerja ke polisi secara pidana”. Lanjut Ahmar.

Hal itu berdasarkan peraturan menteri yang tersebut di atas di pasal 8. Yang intinya, pengusaha yang melanggar ketentuan pasal 2 ayat 1 diancam hukuman sesuai ketentuan Pasal 17 UU Nomor 14 tahun 1969 tentang ketentuan pokok mengenai tenaga kerja.

"Ini bisa dipidanakan," ujar Ahmar yang baru pulang studi banding dari LBH Jakarta dan LBH Palembang.

selengkapnya

Rabu, 18 Agustus 2010

Advokat Publik Bertekad Berantas Mafia Hukum

Jakarta - Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) membentuk kepengurusan di 15 provinsi. Mereka akan menyebarkan 150 advokat publik untuk melakukan bantuan hukum kepada masyarakat.

Pembentukan kepengurusan itu dilakukan seusai seminar selama tiga hari di Jakarta, awal bulan ini. Mereka menilai jumlah advokat publik masih sangat sedikit. Pembentukan kepengurusan di 15 provinsi ini mendorong pemberian pendampingan hukum secara cuma-cuma.

Sekretaris PIL-Net Wahyu Wagiman menyatakan pendampingan hukum kepada masyarakat umum saat ini masih minim. Pasalnya, masyarakat cenderung tidak memiliki kemampuan untuk menyewa advokat. "Ini cukup tragis ketika hukum kita dikotori oleh praktik mafia. Masyarakat tak memiliki pelindung," ujarnya di Jakarta, Kamis (5/8).

Ia menyatakan pembentukan pengurus di 15 provinsi ini diharapkan dapat menekan praktik mafia hukum. Karena mafia hukum disuburkan oleh ketidaktahuan masyarakat atas prosedur hukum. Jika advokat publik melakukan pendampingan maka mafia hukum harus berpikir dua kali untuk melakukan aksinya. "Mafia hukum di sini bisa juga dari hakim atau penegak hukum itu sendiri," tegasnya.

Ia mengharapkan advokat publik ini juga mendapat bantuan dari advokat yang biasa berpraktik secara individual. Karena tujuan advokat publik adalah pembersihan hukum.

Rencananya, kepengurusan advokat publik akan disebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Bali, dan NTT. (MI/BEY)

Sumber: http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/08/05/25299/Advokat-Publik-Bertekad-Berantas-Mafia-Hukum

selengkapnya

Daulat Negara dan Investor atas Sumber Daya Alam: Teror Massa dan Disiplin Tubuh

(Refleksi atas penangkapan aktivis dan petani di Banggai)

Oleh : Lian Gogali
(Peneliti dan penulis isu-isu konflik kekerasan dan konflik sumber daya alam)

27 Mei 2010, Eva Susanti, koordinator Front Advokasi Sawit (FRAS) dan Nasrun Mbau, serta M.Arif, keduanya adalah petani di Banggai ditangkap polisi Banggai. Penangkapan ketiganya diikuti dengan penangkapan 23 petani lainnya pada hari berikutnya. Pihak kepolisian beralasan penangkapan tersebut dilakukan karena aksi spontan yang mereka lakukan yang mengakibatkan rusaknya peralatan PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) dan camp PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS).

Penangkapan aktivis dan petani di wilayah Banggai ini bukanlah yang pertama dilakukan. Sebaliknya pola penangkapan berikut alasannya memiliki kemiripan dimanapun wilayah yang akan dijarah. Jika seseorang atau sekelompok masyarakat menentang rencana pembangunan, perluasan wilayah perusahaan (dalam kasus di Banggai, minyak dan gas serta sawit), maka tidak hanya diteror tetapi juga disingkirkan dengan paksa, menggunakan segala cara. Dalam hal metode segala cara inilah, perselingkuhan negara dan investor nampak vulgar, tidak lagi malu-malu, sebaliknya dengan apik menggunakan dua hal yang disebut Althuser sebagai represive state apparatus dan ideological state apparatus.


Pertama, penangkapan aktivis dan petani ini adalah bagian dari strategi tongkat pemukul, yakni strategi ancaman dengan cara menakut-nakuti masyarakat untuk tidak melakukan protes, juga berhenti melakukan perlawanan. Kunci untuk membuat strategi ini efektif adalah keberadaan aparat keamanan di lokasi di mana kepentingan pemodal ingin diamankan dari kemungkinan gangguan masyarakat setempat. Unjuk kekuatan (show of force) aparat keamanan pada tanggal 17 Mei 2010 dimana terdapat setidaknya 350 orang aparat militer KODIM 14308/Banggai bersenjata lengkap mengadakan latihan perang di areal Hutan Tanaman Industri milik PT BHP, merupakan bagian dari strategi ini. Sebelum latihan perang diadakan, aparat TNI menyisir seluruh lokasi mengusir para penambang dan petani Kedatangan aparat TNI ini juga didukung alat berat (dozer) milik PT. Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS). Tidak cukup itu, aparat juga melakukan penggusuran jalan-jalan petani sehingga mengakibatkan jalan petani menuju areal perkebunan rakyat dan persawahan tertutup (Press Release WALHI Sulteng).

Dapat diduga, para petani kemudian melakukan protes yang berakhir pada pembakaran dan perusakan. Peristiwa inilah yang melegitimasi penangkapan, intimidasi dan penganiayaan yang sistematis. Disebut sistematis karena setelah melakukan penangkapan pertama, aparat Polres mendapatkan bantuan dari Polda Sulteng dengan pengiriman dua truk Brimob daerah Tojo Una-una yang langsung bermarkas di wilayah Toili; bahkan secara mengejutkan dibantu oleh 20 penyidik Polda Sulteng yang langsung menangani kasus baik interogasi maupun ke lapangan. Selanjutnya penangkapan dilakukan secara bertahap, setiap hari beberapa orang dipanggil sebagai saksi lalu ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan terakhir dilakukan dengan menyeret petani keluar dari rumah tanpa pakaian, dipukuli dan diintimidasi pada pukul 03.00 04.00 dinihari. Selanjutnya protes terhadap penangkapan ini ditanggapi dengan kehadiran massa tandingan dari pihak perusahaan yang mengejar-ngejar para petani dengan senjata tajam (parang) sehingga melengkapi teror ini.

Sejarah perlawanan terhadap perampasan sumber daya alam di wilayah ini telah memberikan contoh yang menarik dimana intimidasi, teror seringkali menimbulkan kesadaran massa atas ketidakadilan. Kesadaran pada tingkatan ini pada satu sisi menguatkan perlawanan misalnya munculnya ancaman dari para petani yang keluarganya ditangkap untuk kembali melakukan aksi besar. Namun disisi lain karena tidak berlangsung secara komunal juga membawa pada pilihan untuk aksi spontan yang kemudian dapat dilegitimasi sebagai sebuah pelanggaran hukum semata. Seperti yang ditunjukkan pada hal yang kedua.

Hal kedua, aksi spontan yang dilakukan petani untuk menuntut haknya atas tanah, membela hidupnya yang dirampas dengan tidak adil, tidak penting dimata hukum. Sebaliknya rusaknya alat berat alat berat perusahaan dirasakan lebih penting daripada kehidupan yang telah dirampas dari para petani. Dengan kata lain, tindakan aparat TNI tersebut tidak diperhitungkan sebagai tindakan yang merugikan kepentingan masyarakat apalagi diperhitungkan sebagai tindakan yang telah meniadakan kehidupan para petani. Hukum diperuntukkan bagi mereka yang dianggap melanggar kepentingan perusahaan. Hukum menjadi milik mereka yang berkuasa. Namun, kekuasaan yang ditampilkan dalam hukum ini diperlihatkan lebih “manusiawi” karena ditampilkan berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan sebagaimana mestinya menurut aturan perundang-undangan.

Foucault menyebutkannya sebagai penundukkan tubuh, yang tidak bersifat langsung dan fisik tetapi dengan wacana dan mekanisme berupa prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya. Mekanisme hukum lalu pemenjaraan dilakukan untuk mengoreksi perlawanan dengan semata-mata mengkategorikan para petani dan aktivis-lah penjahatnya. Alih-alih menggunakan hukum untuk mengoreksi perlawanan yang dilakukan, prosedur penangkapan yang disertai intimidasi dan penangkapan itu sendiri menghasilkan kontrol dan kendali terhadap masyarakat. Terlihat jelas bahwa penangkapan para petani ini bukan saja menjadi teror dalam masyarakat yang menghasilkan ketakutan, namun juga praktis melumpuhkan aktivitas masyarakat. Selanjutnya menciptakan kondisi yang ideal dalam rancangan kekuasaan, dimana masyarakat terkontrol, patuh, disiplin sehingga mengurangi bahkan mungkin meniadakan perlawanan. Dalam hal inilah disiplin tubuh, pendisiplinan berlangsung secara modern, yakni melalui hukum.

Para aktivis menyebutnya perlakuan diskriminatif terhadap hukum. Kenyataan bahwa aksi spontan massa ditanggapi sangat serius bahkan terkesan berlebihan oleh aparat keamanan di Banggai, bahkan oleh Polda Sulteng berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa Murad Husain, pemilik perusahaan kelapa sawit yang diprotes oleh masyarakat telah sebulan yang lalu dinyatakan sebagai tersangka. Murad Husain dinyatakan sebagai tersangka karena perusahaan yang selama ini beroperasi tidak memiliki ijin perusahaan. Kasus besar ini hingga sekarang tidak kunjung diselesaikan. Sebaliknya perusahaan yang tidak memiliki ijin ini dibela dan dilindungi kepentingannya.Pertanyaan tentang apakah ada hubungan antara status tersangka Murad Husain dengan keseriusan aparat polisi menangani kasus protes petani dan kepentingan penguasaan, perluasan perkebunan kelapa sawit bersamaan dengan politik lokal di daerah yang dengan malu-malu mendukung penguasaan sumber daya alam (misalnya dengan ketiadaan sikap yang tegas oleh anggota DPRD dan pemerintah daerah) masih akan menjadi bahasan yang lain. Namun ini membuktikan bahwa suatu kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran sehingga dengan demikian kekuasaan dimapankan, disusun dan diwujudkan.

Karena itu, diskusi perampasan tanah di negeri yang kaya ini, yang didukung oleh aparatus negara diarahkan pada tiga hal. Pertama, penggunaan aparatus negara yakni aparat keamanan dalam sistem kapitalis difungsikan untuk menstimulasi kekerasan yang dilanjutkan dengan menjaga investasi dengan alasan keamanan dan kepentingan umum (Sangaji, 2010). Sementara itu aparat hukum menggunakan kekuasaannya untuk memproduksi, mengarahkan obyek masalah sesuai kepentingan kapitalis. Ini berkaitan dengan hal kedua, dimana gerakan perlawanan terhadap perampasan tanah tidak saja pada aras teoritis makro, tapi juga dipersiapkan pada reaksi “tritunggal”, yakni yang berduit, didukung oleh kekuasaan formal, serta dibeking oleh bedil dan peluru (Adijontro, 2003). Perselingkuhan modal, birokrat dan militer adalah realitas yang akan dihadapi dalam gerakan perlawanan apalagi jika terjadi di daerah terpencil seperti Banggai, dimana media massa bisa saja terbeli dan wacana alternatif masyarakat dipinggirkan bahkan tenggelam sementara aktivis setiap saat menghadapi teror yang mengancam jiwa.

Ketiga, karena itu diskusi tentang gerakan perlawanan dalam sistem yang kapitalis ini bukan lagi sebuah gerakan yang terbagi-bagi berdasarkan isunya. Gerakan lingkungan tidak hanya menyoroti dampak proyek-proyek raksasa terhadap lingkungan, namun juga merupakan gerakan anti korupsi dan nepotisme, bagian dari gerakan anti neoliberalisme, yang juga menyoroti perselingkuhan modal, birokrat dan militer, disamping gerakan yang mengembangkan bentuk pengelolaan sumber daya alam alternatif, perjuangan atas hak ulayat dan sebagainya.

Kembali pada penangkapan aktivis dan petani di Banggai (dan di banyak wilayah di Indonesia ini), teror massa dan upaya mendisiplinkan masyarakat dalam seperangkat aturan hukum yang tidak saja meminggirkan hak mereka, berupaya mematahkan perlawanan, jelaslah merupakan sebuah upaya sistematis negara dan (dalam atau bersama) investor untuk mendaulati kekayaan sumber daya alam.
Sumber : http://www.ymp.or.id/content/view/260/1/

selengkapnya

Ketua Dekab: Kemana Rp534 Juta?

BUOL, - Ketua Dekab Buol, Abdullah Batalipu mempertanyakan minimnya realisasi pendapatan daerah dari sektor pemakaian kekayaan daerah yang ditarget Rp 544 juta sementara yang tercapai hanya Rp 10 juta.

"Kita tetapkan Rp 544 juta, tapi ternyata hanya mencapai Rp 10 juta, kemana Rp 534 juta?," tanya Abdullah kepada Kabid pendapatan DPPKAD, dalam sidang lanjutan perhitungan anggaran di Gedung Dekab Buol Jumat (13/8).


Menurut Abdullah, pendapatan ini tergolong sangat minim jika dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari sector yang sama pada tahun 2005, 2006, dan 2007 yang mencapai Rp 1 miliyar, yaitu penerimaan dari sewa pelabuhan, dan penggunaan lokasi oleh CCM di Kelurahan Kumaligon.
Realisasi pendapatan yang menuai kritik ini tidak terjawab secara kongkrit dalam sidang perhitungan itu, sebab Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Buol, meminta untuk sidang diskorsing sampai Senin (16/8) guna menyatukan persepsi dalam penjelasan mengenai angka-angka dalam data yang ditampilkan.
Kabid Pendapatan pada DPPKAD Buo, Yayan, yang ditemui Selasa (17/8) di kediamannya, menyatakan bahwa realisasi pendapatan dari pemakaian kekayaan daerah, memang hanya sebesar itu ( Rp 10 juta red).
" Yang terealisasi memang hanya sebesar itu. Rp 10 juta, ini diperoleh dari pembenihan ikan di balai benih ikan Kulango," terangnya.
Yayan menambahkan, kekayaan daerah yang lain berupa gedung BPU, dan Billboard, belum bisa mengdatangkan hasil.
" Gedung? Hanya pemerintah yang bikin kegiatan disitu, sedangkan billboard, sampai hari ini belum ada yang disewa oleh pihak swasta," terangnya.
Disinggung tentang tingginya nilai pendapatan yang ditargetkan, dirinya mengaku tidak mengerti, Sebab dirinya belum menjabat sebagai Kabid pendapatan saat itu.
" Mungkin dia targetkan Rp 544 juta karena memasukkan billbord dalam kekayaan daerah? untuk jelasnya coba tanyakan ke Kabid sebelumnya," katanya. CR5

selengkapnya

Selasa, 31 Maret 2009

HUKUM PROGRESIF, SOLUSI DITENGAH TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Oleh : Muh Irsyad Thamrin, SH
(Ketua Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) dan pekerja bantuan hukum di LBH Yogyakarta)

Runtuhnya Orde Baru yang menganut paradigma hukum yang represif pada tahun 1998 yang digantikan oleh Orde Reformasi, ternyata belum membawa perbaikan terhadap kualitas penegakan hukum. Justru lebih parah lagi dengan banyak bermunculan kasus-kasus pelanggaran HAM, korupsi yang semakin mewabah, dan munculnya beragam peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak mencerminkan kepentingan masyarakat. Sebut saja lahirnya Perpres 36 tahun 2005 tentang Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang berpotensi menjadi legitimasi pemerintah untuk melakukan penggusuran, UU No 13 tentang ketenagakerjaan dan UU PPHI, yang banyak melahirkan penolakan dari kalangan buruh karena dinilai lebih berpihak kepada pemilik modal, dan lain sebagainya.

Di pihak lain penegakan hukum terhadap kasus-kasus besar seperti kasus korupsi akbar tanjung, kasus pencemaran nama baik oleh majalah Tempo, kasus-kasus konflik agraria, sengketa perburuhan dan lain-lain masih sangat jauh dari rasa keadilan. Hal ini mencerminkan bahawa perilaku-perilaku para aktor dunia peradilan yang masih belum bisa bersikap adil, bahkan less authoritativeness ketika menghadapi pihak yang memiliki relasi dengan kekuasaan di satu pihak dan more authoritativeness ketika berhadapan dengan masyarakat kecil.

Hal ini menyebabkan kerisauan dan sikap apriori terhadap “orde hukum” yang belum mampu menjawab dan menjelaskan berbagai problem ketidakadilan. Realitas itu menandai supremasi hukum dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law) ibarat masih menjadi impian bagi rakyat. Peradilan yang independen dan tidak memihak (fair tribunal and independence of judiciary) sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum (rule of law) hanya menjadi jargon di dalam ruang kuliah ataupun diskusi. Di pihak lain, sebagai dampak dari globalisasi, Advokat/Pengacara yang sering disebut sebagai “profesi mulia” (officum nobile) karena profesi ini tidak hanya sekedar mencari nafkah saja melainkan didalamnya terdapat idealisme (nilai keadilan/kebenaran) mulai terpuruk dan beralih sebagai penjual jasa hukum kepada yang memiliki modal.

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka salah satu penyebab bobroknya sistem hukum ini adalah masih dianutnya paradigma hukum yang liberal oleh sebagian besar aparat hukum/profesi hukum dengan berlindung pada bunyi undang undang (positivistis), sehingga membentuk kesadaran hukum yang formalisistis. Sehingga kesadaran hukum yang formalistis inilah yang selama ini telah menjebak kita pada kepuasan terdistribusinya keadilan formal, kendati harus menyingkirkan, bahkan bertentangan dengan keadilan substansial. Padahal kolusi yang terjadi dalam proses-proses bekerjanya hukum nyaris selalu dibingkai dalam proses-proses hukum yang formalistis. Sehingga, kolusi atau “jual-beli keadilan” sangat sulit dibuktikan, kendati praktik-praktik kotor itu nyata-nyata terjadi. Hal ini tercermin dalam dimenangkannya kasasi Akbar Tanjung dalam kasus korupsi, yang jelas-jelas melukai rasa keadilan di dalam masyarakat, beberapa inteleketual hukum hanya mengatakan “bahwa apa daya hukum formil harus ditegakkan”.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka sebenarnya membuktikan bahwa hukum modern (baca : hukum barat) yang membawa paradigma liberal yang dijargonkan merupakan system hukum paling maju ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat Indonesia dimana sebagian besar masyarakat Indonesia justru termarginalkan hak-hak ekosobnya (hak ekonomi, social budaya). Kita ketahui hukum modern ini memang bukan berasal dari dalam masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar yang merupakan produk social, ekonomi dan kultur barat. Atau dengan kata lain hukum modern yang bertipe liberal merupakan cerminan dari basis struktur ekonomi kapitalis. Hukum liberal pada prinsipnya dibuat untuk menjadi instrumen pengaman kelangsungan tatanan social-politik dan ekonomi masyarakat liberal (baca : kapitalis), yang menempatkan kebebasan individu sebagai nilai yang prinsipil. Hal ini sesuai dengan analisis Karl Marx menggunakan pendekatan kesejarahan dari sudut pandang ekonomi (materialisme historis), dimana hukum tidak lebih dari sebuah instrumen untuk melindungi dan menjamin kepentingan kelas yang berkuasa (kapitalis) di satu pihak, dan memeras serta menindas kelas pekerja (proletar) di pihak lain.

Untuk itu lahirnya hukum progresif merupakan antitesis dari realitas hukum saat ini, dimana diperlukan keberanian dan komitmen untuk melakukan pembangunan orde hukum yang responsif (termasuk meningkatkan kualitas penegakan hukum) dengan melakukan perbaikan di berbagai sektor hukum, baik itu dari segi sistem hukumnya sendiri, aparatur penegak hukum, maupun segi pendidikan/kurikulum hukum . Menurut Sacipto Rahardjo, system liberal melihat bahwa konsep kesamaan (equality) didasarkan kepada individu sebagai unit (individual equality), maka hukum progresif adalah kebalikan dari system hukum liberal, dimana hukum progresif menawarkan konsep kesamaan didasarkan kepada kolektiva atau kebersamaan (group-related equality). Dengan kata lain hukum progresif bertujuan untuk menggunakan hukum bagi kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Di dalam pandangan hukum progresif hukum dilihat sebagai instrumen untuk melayani kepentingan rakyat, maka apabila rakyat menghadapi persoalan hukum yang berdimensi structural, bukan rakyat yang dipersalahkan, melainkan kita harus mengkaji asas, doktrin ataupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di era transisi ini banyak melahirkan masalah-masalah dan problem social sehingga angka kejahatan maupun konflik tumbuh dengan cepat dalam masyarakat. Belum lagi sengketa-sengketa kepentingan antar individu atau kelompok, ataupun masyarakat dengan Negara/pemodal. Lantas bagaimana perspektif hukum progresif harus mengatasinya ditengah teori-teori hukum (baca hukum liberal) yang cukup njlimet ini. Dalam pandangan Hukum progresif secara sederhana dapat diuraikan bahawa apabila suatu hukum/peraturan justru tidak menguntungkan kolektiv didalam masyarakat, maka hukum tersebut harus diterabas atau dengan kata lain hukum tersebut harus segera dilakukan perubahan baik dari segi asas, doktrin maupun aturannya, sedangkan apabila hukum tersebut menguntungkan sebagian besar mayoritas masyarakat, maka hukum tersebut dipakai sebagai legitimasi untuk menegakkan hak-hak dan kedaulatan masyarakat tersebut.

Barangkali dibenak para pembaca muncul pertanyaan apakah relevan hukum progresif ini diterapkan ? Adakah teori-teori hukumnya yang spesifik (atau hanya jargon belaka)? Tentunya dari pertanyaan ini akan melahirkan perdebatan yang sengit di antara para pemikir-pemikir/intelektual hukum. Namun bagi para pekerja hukum yang sehari-harinya selalu bersentuhan dengan masyarakat marginal cukup menjelaskan bahwa hukum progresif adalah kunci pembebasan, dimana hukum progresif menolak klaim para inteleketual liberal yang merasa hanya dirinya yang memiliki otoritas membuat teori-teori hukum/doktrin dimana masyarakat dipaksa dimasukkan dalam skema teori hukum yang berlaku, sehingga hukum haruslah mutlak dilaksanakan, walaupun mengindahkan rasa keadilan dalam masyarakat. Hukum progresif berpendapat bahwa setiap pikiran, pendapat, doktrin, asas hukum sangat terbuka untuk ditinjau, untuk itu setiap pekerja hukum juga merupakan seorang intelektual hukum progresif, yang harus menteorikan segala sesuatu yang menjadi polemik hukum dalam masyarakat menjadi sesuatu yang mudah dicerna dan diaplikasikan.

Namun sekelumit dari uraian tersebut di atas, bertitik tolak dari belum beralihnya orde hukum yang dianut Negara ke arah responsive, hanya ada satu pertanyaan yang muncul dibenak penulis, yakni “apakah kita mau dan berani mengaktualisasikan diri kita dengan menggunakan paradigma hukum progresif untuk melakukan pembebasan di tengah penindasan dan diskriminasi antar sesama manusia ?”

selengkapnya

Modified by Blogger Tutorial

LEMBAGA BANTUAN HUKUM SULAWESI TENGAH ©Template Nice Blue. Modified by Indian Monsters. Original created by http://ourblogtemplates.com Blogger Styles

TOP